Tuesday, October 05, 2010

Sistem Informasi Manajemen (SIM) Pendidikan


Sistem Informasi Manajemen (SIM) Pendidikan

SIMDIK adalah sebuah sistem informasi untuk kebutuhan manajemen lembaga pendidikan dalam hal ini adalah sekolah. Sekolah yang dapat di cover dengan SIMDIK ini adalah sekolah TK, SD, SMP, SMA dan sederajat.
SIMDIK dikembangkan secara terpadu dimulai dari proses operasional pendaftaran siswa baru, proses akademik, pengelolaan keuangan, sampai operasional siswa menjadi alumni.
SIMDIK merupakan core proses operasional sekolah.
SIMDIK juga dirancang sesuai dengan standar JARDIKNAS. Segala kebutuhan pelaporan dari sekolah ke Dinas Pendikan Daerah maupun untuk kebutuhan Depdiknas dapat dilakukan dengan mudah. Dengan adanya SIMDIK manajemen pendidikan menjadi lebih mudah dan terkontrol.


Latar Belakang

* Pemanfaatan ICT dalam bidang pendidikan sudah sangat diperlukan dalam proses pengelolaan sekolah, baik dalam hal pengelolaan administrasi akademik, administrasi kepegawaian, dan untuk proses pelaporan.
* Kebutuhan aplikasi database yang dapat mengelola data dan informasi sekolah, manajemen sekolahan, dan konten-konten pengajaran dan pembelajaran.
* Kebutuhan untuk menyediakan laporan-laporan dari sekolah secara cepat dan valid kepada instansi terkait, seperi laporan ke Diknas Pendidikan Daerah maupun laporan ke Departemen Pendidikan Nasional.

Tentang Sistem Informasi Manajemen Sekolah

* Sistem Informasi Manajemen sekolah adalah konsep manajemen sekolah menggunakan ICT.
* Sistem Informasi Manajemen sekolah merupakan konversi manajemen sekolah secara manual ke Sistem manajemen sekolah berbasis program komputer (database).
* Sistem Informasi Manajemen sekolah adalah proses manajemen data akademik dan data pendukung akademik secara mudah, cepat dan efisien.

Nilai Lebih SIMDIK

* Sesuai standar JARDIKNAS (Departemen Pendidikan Nasional), sehingga pembuatan laporan dari masing-masing sekolah maupun dari Dinas Pendidikan dapat dengan mudah dan cepat di sampaikan tanpa harus membuat laporan ulang dan tanpa harus mencetak laporan, hal ini karena format laporan dan jaringan sudah disesuaikan dan menggunakan konsep singkronisasi online.
* Kemudahan dan kecepatan proses pengolahan, penyimpanan, pencarian, pelaporan data dan informasi yang dibutuhkan.
* Dikembangkan secara integrated untuk kebutuhan administrasi akademik sekolah.
* Sistem dapat disesuaikan dengan kebutuhan lembaga/institusi pendidikan terkait.
* Secara teknis, proses instalasi dan setup yang mudah.
* Tampilan user friendly dengan mengadopsi interface Office 2007.
* Harga lisensi yang sangat kompetitif.

Cakupan SIMDIK
Ruang Lingkup SIMDIK Back-office :

1. Koneksi dan setting
Identitas sekolah, setting tahun ajaran, seting kurikulum, koneksi database, dan format tanggal.
2. Pengelolaan Kesiswaan
Pengelolaan biodata masing-masing siswa, beasiswa, kasus kedisiplinan, data kesehatan, data periksa, prestasi, perpindahan (mutasi) siswa, sampai pengelolaan data alumni.
3. Pengelolaan Akademik
Laporan nilai hasil ujian secara periodik, data nilai KTSP, data nilai KBK, data absensi, data bimbingan dan penyuluhan, data kasus siswa, rencana pengajaran, pengelolaan mata pelajaran, penjadwalan, dan prestasi akademik.
4. Pengelolaan Guru dan Karyawan
Manajemen biodata guru dan karyawan, data keluarga, riwayat pendidikan, pendidikan tambahan(kursus, training, seminar, workshop dsb).
5. Pengelolaan Keuangan
Manajemen pembayaran biaya pendidikan, administrasi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah)dan penggunaannya, biaya tambahan, seperti : biaya praktikum, biaya ekstra, dll.
6. Pengelolaan Perpustakaan
Pengelolaan buku (judul, kategori & deskripsi), status keanggotaan dan peminjam, stock inventory, Jurnal keluar masuk buku, laporan-laporan terdiri dari : statistik peminjaman, statistik keluar masuk buku, rekap peminjaman, dan rekap pengembalian.
7. Pelaporan
Pelaporan siswa (induk siwa, kesehatan, periksa kesehatan, biasiswa, kasus, dan bimbingan) per siswa, per kelas dan seluruh siswa, pelaporan guru/pegawai (induk pegawai, bidang pengajaran), rencana pengajaran, nilai, kelulusan, statistik dan laporan ke DEPDIKNAS (data sekolah, siswa dan guru)
8. Bank Soal
Pengolahan data bank soal, penyimpanan soal,pencarian dan pencetakan

Sumber : Panduan SIMDIK oleh PT. WIRA EKA

Kecerdasan Spiritual


Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)

Adalah Donah Zohar dan Ian Marshall dua nama yang selalu disebut ketika dihadirkan konsep kecerdasan spiritual. Dalam karyanya SQ: Spiritual Intelligence the Ultimate Intelligence, yang diterbitkan tahun 2000, Zohar dan Marshall mendakwahkan kecerdasan spiritual sebagai puncak kecerdasan, setelah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan moral. Meskipun terdapat benang merah antara kecerdasan spiritual dan kecerdasan moral, namun muatan kecerdasan spiritual lebih dalam, lebih luas dan lebih transenden daripada kecerdasan moral.
Kajian tentang SQ ini sangat menarik kaum ilmuwan, karena di dukung juga oleh temuan baru Prof. V.S. Ramachandran yang memimpin para ahli bedah syaraf Universitas California di San Diego yang berhasil mengidentifikasikan apa yang disebut dengan God Spot atau God Module yaitu tempat tertentu di dalam otak yang secara spesifik merespon segala sesuatu yang bersifat spirirtual.
Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak manusia untuk 'cerdas' dalam memilih dan memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang 'cerdas' dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya. Kehidupan spiritual disini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk mencari suatu makna hidup (the meaning of life) dan mendambakan hidup bermakna (the meaningful life).
Dannah Zohar dan Ian Marshall (2000) mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk mengenali aspek keilahian dalam diri serta mengikuti jalan yang ditunjukkan baginya adalah suatu kapasitas manusia atau yang juga disebutnya sebagai SQ (Spiritual Quotient)
Lebih jauh lagi mereka mengatakan bahwa SQ adalah kecerdasan untuk mengatasi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ yang tinggi ditandai dengan adanya kemampuan untuk mengenali hal-hal yang paling bermakna bagi dirinya serta kemampuan untuk mengikuti kata hatinya.
SQ memungkinkan adanya dialog antara kecerdasan dan emosi; antara pikiran dan tubuh. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tindakan bukanlah hanya aktifitas fisik belaka, namun tindakan mencakup kemampuan berpikir (intelegensi) dan juga didukung oleh aspek emosional yang tepat. Dengan demikian maka SQ adalah kecerdasan yang tertinggi, melebihi kecerdasan manusia yang telah lebih dahulu diidentifikasi (IQ dan EQ) karena dalam SQ dimungkinkan pengabungan antara IQ dan EQ secara optimal.
Dapat dikatakan bahwa SQ adalah kecerdasan jiwa, yang secara aktif membantu setiap individu untuk sembuh dan membangun diri secara utuh. SQ juga mengajak manusia untuk kreatif di dalam mencari nilai-nilai baru, membuat cara pandang baru terhadap arti hidup individu.
Kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Acapkali mereka memiliki sifat fanatisme, ekslusivisme, dan intoleransi yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain, sehingga mengakibatkan permusuhan dan peperangan. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality" (keruhanian) disini tidak selalu berarti agama atau bertuhan.
Yang paling baik menurut Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya "Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, ESQ (Emotional Spiritual Quotient)" penerbit Arga tahun 2001, dan menurut Toto Tasmara dalam bukunya "Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intellegence)" penerbit Gema Insani Press tahun 2001 mengatakan bahwa Kecerdasan spiritual (SQ) harus bersumber dari ajaran agama yang dihayati sehingga seorang yang beragama sekaligus akan menjadi orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Dengan kata lain orang yang beragama seharusnya sekaligus seorang spiritualis (SQ tinggi) dan seorang spiritualis seharusnya sekaligus orang yang beragama dengan baik.




HM. Jamaludin Ahmad, Psi
Psikolog Polda Metro Jaya
Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.

Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (1997) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Menurut Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.

Sedangkan menurut Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali individu tidak mampu menangani masalah–masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.

Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999) bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.

Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).

rujukan buku :
Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Cooper Cary & Makin Peter, 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta: Arcan.
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Harmoko, R., Agung, 2005. Kecerdasan Emosional. Binuscareer.com


Kecerdasan Emosi dalam Pekerjaan

Dunia kerja kelebihan orang- orang yang mempunyai kecerdasan tinggi dibandingkan orang lain tercermin dari beberapa fakta berikut ini: Pada posisi yang berhubungan dengan banyak orang, lebih sukses bekerja. Terutama karena lebih berempati, komunikatif, lebih tinggi rasa humornya, dan lebih peka akan kebutuhan orang lain ; Para salesman, penyedia jasa, atau professional lainnya yang mempunyai kecerdasan emosi tinggi nyatanya lebih disukai pelanggan, rekan sekerja dan atasannya.

Para selesman lebih bisa menyeimbangkan rasio dan emosi. Tidak terlalu sensitif dan emosional, namun juga tidak dingin dan terlalu rasional. Pendapatnya mereka dianggap selalu obyektif dan penuh pertimbangan; menanggung stress yang lebih kecil karena bisa dengan leluasa mengungkapkan perasaan, bukan memendamnya. Mampu memisahkan fakta dengan opini, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh gosip, namun berani untuk marah jika merasa benar; Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang tinggi selalu lebih mudah menyesuaikan diri karena fleksibel dan mudah beradaptasi; saat orang lain menyerah, mereka tidak putus asa dan frustrasi, justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan sebagai langkah awal guna meningkatkan kecerdasan emosi di tempat kerja. Dua ahli EQ (Emotional Quotient), Salovey & Mayer (1990) – pengembang konsep EQ, jauh sebelum Goleman – merangkumnya menjadi lima aspek berikut ini : a. kesadaran diri (self awareness), b. mengelola emosi (managing emotions), c. memotivasi diri sendiri (motivating oneself), d. empati (emphaty) dan e. menjaga relasi (handling relationship). Seperti halnya Peter dan Salovey, pada mulanya Daniel Goleman pun menyebut 5 dimensi guna mengembangkan kecerdasan emosi yaitu a. Penyadaran Diri, b. Mengelola Emosi, c. Motivasi Diri, d. Empati dan e. Ketrampilan Sosial. Dalam buku terbarunya yang membahas kompetensi EQ, “The emotionally Intelligent Workplace” Goleman menjelaskan bahwa perilaku EQ tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi EQ melainkan harus dari satu dimensi atau setiap cluster-nya. Kemampuan penyadaran social (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk berorientasi pelayanan dan kesadaran akan organisasi. Dikatakannya pula ada kaitan antara dimensi EQ yang satu dengan lainnya. Jadi tidaklah mungkin memiliki ketrampilan sosial tanpa memiliki kesadaran diri, pengaturan diri maupun kesadaran sosial.

rujukan buku :
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.



disunting dari : http://duniapsikologi.dagdigdug.com