Friday, March 26, 2010

obat sakit gigi tradisional


Banyak tanaman yang berkhasiat bagi kesehatan gigi. Rasa yang khas dari dari cengkih misalnya, membuat tanaman ini sering dimanfaatkan. Selain cengkih, ada juga sejumlah tanaman lain yang memiliki khasiat serupa. Cengkih ini memiliki sifat antiseptica (antikuman), carminativa (peluruh angin), rubefaciencia (memanaskan kulit), antispasmodica (menghilangkan kejang) dan analgesik (pati rasa).

Karenanya tanaman ini bisa digunakan untuk obat sakit gigi. Selain juga bisa untuk nyeri haid, rematik/pegal linu, masuk angin/mual bisa juga buat suara parau (serak) dan selesma, demikian seperti yang pernah dimuat di Kompas beberapa waktu lalu. Demikian pula dengan sirih. Tanaman yang berasal dari India, Sri Lanka, dan Malaysia ini telah dikenal sejak tahun 600 SM. Pada daunnya yang berbentuk bulat telur melebar, elips melonjong, atau bulat telur melonjong dengan pangkal berbentuk seperti jantung dan ujung meruncing pendek ini, terkandung minyak atsiri yang dapat menguap. Di antaranya yang terbesar chavicol dan betlephenol.


Aroma khas dari daun dan minyak sirih itu karena kandungan chavicol tadi. Senyawa ini memiliki daya antiseptik yang kuat dan daya bunuh bakterinya bisa sampai lima kali lipat dari fenol biasa. Daun berukuran panjang 6-17,5 cm dan lebar 3,5-10 cm ini juga mengandung allylrocatechol, cineole, caryophyllene, menthone, eugenol, dan methyl ether. Bahkan, ia berisikan vitamin C dan alkaloid arakene yang khasiatnya sama dengan kokain. Beberapa tulisan ilmiah juga menyebutkan, daun sirih mengandung enzim diastase, gula dan tanin. Namun, daun muda mengandung diastase, gula dan minyak atsiri lebih banyak ketimbang yang tua, sedangkan tanin relatif sama.

Senyawa yang membuat daun sirih mampu meredam sariawan memang belum terlacak. Yang pasti, dalam beberapa buku kuno India dan Yunani, seperti dikutip Darwis S N, disebutkan daun yang merupakan bahan utama menginang ini memiliki sifat styptic (menahan perdarahan), vulnerary (menyembuhkan luka kulit), stomachic (obat saluran pencernaan), menguatkan gigi, dan membersihkan tenggorokan. Berikut ini ada beberapa ramuan lain pereda gangguan gigi yang dihimpun dari berbagai sumber.

Kunyit
Ramuan 1. Siapkan kunyit satu rimpang dan minyak kayu putih secukupnya. Setelah kunyit dicuci bersih, lalu kupas. Rendam sebentar dalam minyak kayu putih, kemudian tempelkan dalam gigi yang berlubang. Lakukan hingga sakit mereda.

Ramuan 2. Siapkan kunyit 10 gram, daun dan akar serai masing-masing 50 dan 25 gr, garam dapur secukupnya. Setelah semua bahan dicuci bersih dan kunyit dipotong-potong, rebus dengan setengah liter air. Biarkan hingga air menjadi satu gelas. Minum untuk tiga kali sehari.

Ramuan 3. Siapkan kunyit 10 gram, daun meniran 50 gram, buah pinang setengah biji, garam dapur secukupnya. Setelah semua bahan kecuali garam dicuci, tumbuk hingga halus. Jangan lupa garam. Seduh dengan air panas sebanyak satu gelas, lalu saring. Bila sudah hangat, gunakan untuk kumur. Lakukan tiga kali sehari.

Minyak kelapa
Siapkan minyak kelapa sebanyak satu sendok teh. Rendam sejumput kapas dalam minyak tersebut, lalu panaskan di atas api selama kurang lebih 2-3 menit. Setelah agak hangat, tempel dengan kapas pada bagian gigi yang berlubang.


Biji cengkih
Siapkan biji cengkeh sebanyak satu genggam. Setelah disangrai, tumbuk halus hingga menjadi bubuk. Lalu, taburkan pada gigi yang sakit. Lakukan hingga sakit mereda.


Getah pohon kamboja
Siapkan getah pohon kamboja secukupnya, bisa diambil dari tangkai daun. Teteskan pada gigi yang berlubang atau gusi yang bengkak. Lakukan hati-hati, jangan sampai terkena gigi yang sehat. Harap hati-hati, karena getah kamboja bisa merusak gigi yang sehat.


Biji asam
Siapkan setengah ons biji asam. Kemudian disangrai (goreng tanpa minyak) sampai hangus. Setelah hangus, tumbuk halus menjadi bubuk. Gosokkan bubuk tersebut pada bagian gigi yang hitam atau kuning. Lakukan hingga terjadi perubahan sesuai keinginan anda. (yz)

Sunday, March 21, 2010



SEMINGGU BERSAMA PAK YOHANES SURYA






Hanya seminggu ga seberapa lama kami bersama beberapa teman setanah air bisa mengikuti pelatihan pembimbing olimpiade fisika, bersama Prof. Yohanes Surya.
Terima kasih Pak Yo !


Sekilas Latar Belakang Pendidikan:
1. Lulus SDN Nyalindung 3 Kecamatan Nyalindung Kabupaten Sukabumi Tahun 1979
2. Lulus SMP Negeri 1 Kodya Sukabumi Tahun 1982
3. Lulus SMA Negeri 1 Kodya Sukabumi Tahun 1985 Jurusan IPA
4. Lulus D-3 Institut Pertanian Bogor Tahun 1988 Jurusan Fisika
5. Lulus S-1 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Jurusan Fisika Tahun 2000
6. Lulus S-2 Universitas Pakuan Bogor (Magister Pendidikan) Tahun 2011

Tempat Kerja
Mulai Tahun 1988 sampai dengan sekarang di SMA Negeri 1 Cibadak Sukabumi

KEPEMIMPINAN BERBASIS PELAYANAN


Kepemimpinan Berbasis Pelayanan

Dalam konteks administrasi publik, paradigma baru kepemimpinan
aparatur negara yang perlu dikembangkan adalah kepemimpinan
berdasarkan pelayanan.

Mengapa pelayanan yang menjadi pertimbangan sebagai dasar paradigma
baru kepemimpinan aparatur negara? Ada beberapa pertimbangan,
yaitu:
Pertama, bahwa pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh
pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah.
Maknanya, buruknya praktik governance sebagai akibat kepemimpinan
aparatur negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik, sangat
dirasakan oleh warga dan masyarakat luas. Ini berarti, jika
terjadi perubahan yang signifikan pada ranah kepemimpinan yang
berbasis pelayanan publik dengan sendirinya dapat dirasakan
manfaatnya secara langsung oleh warga dan masyarakat luas. Dengan
menjadikan pelayanan publik sebagai nilai dan jiwa kepemimpinan
aparatur negara, maka diharapkan good governance akan
secepatnya terwujud dan toleransi terhadap bad governance akan dapat
dihentikan.


Kedua, bahwa salah satu makna penting dari governance yang membedakan dengan government
adalah keterlibatan aktor-aktor di luar negara dalam merespon
masalah-masalah publik. Governance lebih luas government karena dalam
praktik governance melibatkan unsurunsur masyarakat sipil dan
mekanisme pasar. Selain itu, mewujudkan nilai-nilai yang selama
ini mencirikan praktik good governance seperti efisien, nondiskriminatif,
berkeadilan, berdaya tanggap tinggi, dan memiliki
akuntabilitas tinggi dengan mudah dikembangkan parameternya di
dalam ranah pelayanan publik.


Ketiga, pelayanan publik
melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah sebagai
representasi Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar memiliki
kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Pelayanan
publik memiliki high stake dan menjadi pertaruhan yang penting
bagi ketiga unsur governance, karena baik buruknya praktik pelayanan
publik sangat berpengaruh terhadap ketiganya.


Nasib sebuah pemerintahan, baik pusat maupun daerah, akan sangat
dipengaruhi oleh keberha-silan para pemimpin dalam mewujudkan
pelayanan publik. Keberhasilan sebuah rezim dan penguasa dalam
membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan
mereka dalam menyelenggarakan pelayan-an publik yang baik dan
memuaskan masyarakat. Dengan memperhatikan berba-gai
hal di atas, para pimpinan di jajaran aparatur negara memiliki kepentingan
untuk melakukan pembaharuan dalam praktik penyelenggaraan
pelayanan publik. Nasib mereka, apakah dapat mempertahankan
jabatannya atau tidak dipengaruhi kualitas pelayan-an publik yang
diberikan. Pertimbangan tersebut memperkuat niat membangun
paradigma baru kepemimpinan yang berbasis pelayanan. Pelayanan
sebagai sebuah konsep dasar paradigma baru kepemimpin,
berangkat dari pemikiran bahwa, nilai dasar dari ajaran administrasi
publik adalah ”memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa
membedakan siapa yang dilayani”.

Melayani bermakna memberikan sesuatu jasa atau dalam bentuk lain
secara ikhlas kepada orang lain (masyarakat) atau pelayanan
berdasarkan hati nurani. Sikap ikhlas menuntut suatu komitmen yang kuat
terhadap diri sendiri, institusi dan masyarakat yang dilayani serta
pengorbanan. Komitmen bermakna sikap keberpihakan yang tinggi
terhadap masyarakat yang dilayani.

Sebagai sebuah proses, komitmen menuntut konsistensi dari para
pemimpin. Sikap ini menjadi penting, karena konsistensi akan
memberikan kenyamanan dan ketenangan serta keamanan bagi
masyarakat. Sedangkan sikap pengorbanan menunjuk pada sikap
menempatkan kepen-tingan orang lain (masyarakat yang dilayani)
dibandingkan dengan kepentingan pribadi atau golongan/ kelompoknya.
Selain nilai-nilai dasar tersebut, nilai-nilai kepemimpinan transformasional,
transaksasional dan kepemimpinan primal yang berbasis
resonansi, juga merupakan indikator- indikator yang dimasuk-kan
dalam mengukur kepemim-pinan berbasis pelayanan. Berda-sarkan
hasil kajian dan pengalaman empirik, membuktikan bahwa organisasiorganisasi
yang menda-sarkan diri pada konsep pelayanan akan lebih
langgeng dibandingkan dengan pendekatan lain.

Pasaruraman, Heskett, Groon-ros, Normann dan para pakar service
management lainnya, yang mengembangkan model kualitas pelayanan(dalam Jan Hendrik Peters, 2006), menemukan bahwa faktor kepemimpinan
merupakan faktor yang sangat dominan dalam manajemen
pelayanan. Dari konsep-konsep yang dikembangkan, keterlibatan para
pemimpin sangat tinggi dan menentukan keberhasilan pelayanan
yang dilakukan organisasi. Bahkan dalam model pelayanan yang
dikembangkannya, secara tegas menempatkan kepemimpinan sebagai
faktor utama dalam kualitas manajemen pela-yanan. Kajian Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (2000), dan hasil kajian Lembaga
Administrasi Negara (2005, 2006), walaupun secara eksplisit tidak
dikemukakan namun hasilnya menunjukkan bahwa faktor kepemim25
pinan aparatur pemerintah menjadi variabel yang perlu diperhitungkan
dalam pelayanan.

Pada tingkat lokal daerah, memperlihatkan bahwa daerahdaerah
yang unggul dan berkembang pesat, karena daerah tersebut
dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kecerdasan pelayanan yang
prima. Beberapa daerah yang dapat dikemukakan antara lain, Provinsi
Gorontalo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Solok, Kabupaten Karangayar,
Kotamadya Tarakan, dan Kabupaten Jembrana, dan daerah lainnya dengan
ciri khas jenis pelayanan masing-masing daerah. Kemajuan yang
dicapai masing-masing daerah apabila dicermati lebih disebabkan
peran kepemimpinan pelayanan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kalau
terjadi penggantian kepemimpinan?
Apakah pemimpin berikutnya minimal sama atau lebih baik masih
belum dapat dijawab. Hal ini oleh karena sistem politik kita
menghendaki hanya paling banyak 2(dua) kali masa jabatan untuk
Bupati/Walikota dan Gubernur. Padahal untuk membangun suatu
daerah tidak cukup dalam 10 tahun. Lebih dari itu, pendekatan yang
digunakan dalam memilih pimpinan daerah adalah pada pendekatan
kekuasaan.

Pada tingkat nasional, kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta
dan para pemimpin nasional lainnya mampu memotivasi, menggerakkan
seluruh kekuatan bangsa Indonesia untuk merdeka, karena dilandasi
sikap ikhlas berkorban untuk kepentingan yang lebih besar.

Demikian juga kepemimpinan orde berikutnya yang dengan kelebihannya
telah membawa perubahan besar kemajuan bangsa Indonesia. Hanya
memang disayangkan, antar periode kepemimpinan sering ditemukan
inkonsistensi kebijakan, sehingga rakyatlah yang harus menanggung
akibatnya. Kerusakan sumber daya alam, rendahnya daya saing sumber
daya manusia Indonesia lebih sebagai akibat inkosistensi kebijakan,
dan lebih dari itu masih rendahnya kepemimpinan berbasis
pelayanan yang dimiliki para pemimpin. Kepemimpinan berbasis
pelayanan hakikatnya adalah sikap kepemimpinan yang selalu berpihak
kepada kepentingan masyarakat.

Kemenangan beberapa Gubernur atau Bupati yang mencalonkan
kembali dan mendapat kemenangan mutlak, lebih disebabkan kualitas
kepemimpinan pelayanan yang dinilai sangat baik oleh masyarakatnya.
Konsep kepemimpinan berbasis pelayanan menjadi sangat penting,
sebagai konsekuensi logis dalam sistem demokrasi, dimana rakyat
atau masyarakat adalah yang berkuasa. Dalam konsep demokrasi,
masyarakat bukan didudukan sebagai obyek kekuasaan tetapi
sebagai subyek dan sekaligus obyek penyelenggaraan pemerintahan
negara. Hal ini bermakna sumber kekuasaan berada di tangan masyarakat.

Kepemimpinan dalam sistem politik demokratis, hakikat-nya
adalah kepemimpinan yang memiliki kemampuan partisipatif, kecerdasan
multikultural dan sosial dan bahkan kecerdasan spiritual. Kemampuan
partisipatif dimaknai, sebagai sikap kepemimpinan yang selalu mendengar
keluhan dan kebutuhan masyarakat dan bukan hanya mau
didengar saja. Kecerdasan multikultural sebagai konsep dasar
kepemimpinan pela-yanan, dengan asumsi dasar bahwa kepemimpinan
yang berhasil adalah kepemimpinan yang mengenal, memahami,
mendalami dan menghargai nilainilai budaya yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat. Selanjutnya, konsep kecerdasan
sosial sebagai konsep kepemimpinan pelayanan menunjuk pada
suatu kemampuan seorang pemimpin terhadap aspirasi masyarakat
yang dilayani. Adapun kecerdasan spiritual sebagai dasar dan landasan
kepemimpinan pelayanan, bahwa dipercaya sentuhan spiritual akan
lebih efektif dibandingkan pendekatan lain.

Sentuhan spiritual bukan permasalahan agama, tetapi lebih
pada suatu model pelayanan yang selalu dikaitkan hubungannya
dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Melayani. Semua konsep dasar
dari kepemimpinan berbasis pelayanan, menunjukkan bahwa
diperlukan suatu proses yang cukup panjang untuk mempersiapkannya.

Seperti telah dikemukakan, negara Singapura memerlukan waktu 40
tahun lebih untuk menghasilkan kepemimpinan berbasis pelayanan.
Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah
dapat survive dan memiliki daya saing tinggi, hal ini oleh karena para
pemimpin aparatur negaranya memiliki daya saing tinggi di bidang
kepemimpinan berbasis pelayanan. Dengan demikian, model kepemimpinan
yang melayani membutuhkan suatu perubahan dalam sikap
mental lebih daripada sekedar perubahan struktural. Untuk
beroperasi di dalam model ini, para pemimpin harus menyisihkan ego
mereka dan merangkul secara mendalam keyakinan bahwa orangorang
akan melakukan kinerja terbaik mereka dalam suatu atmosfer
kebebasan dan kepercayaan.

sumber : http://www.stialan.ac.id/artikel%20j%20basuki.pdf

ETOS KERJA


Create your own at MyNiceProfile.com


Cahaya tampak (POLYKROMATIK) bila dibiaskan melalui prisma maka cahaya tersebut akan terurai menjadi monokromatik atau warna pelangi (spektrum warna). Cahaya tampak adalah bagian kecil dari spektrum gelombang elektromagnetik,
pada dasarnya energi matahari adalah energi radiasi gelombang elektromagnetik yang memungkinkan kehidupan di Bumi yang terus terus berlangsung.

Sama seperti energi pelangi, yang merupakan energi radiasi gelombang elektromagnetik, demikian juga 8 Ethos@Habitus adalah seberkas energi hati, semangat, spirit, atau motivasi kerja yang memungkinkan keberhasilan profesional dicapai baik di tingkat pribadi, organisasi, dan sosial.

1. RAHMAT: Jiwabesar-Pikiranluas-Hatibaik-Rezekiakbar-Sumberberkah-Sukacita-Ikhlas-Bersyukur
2. AMANAH: Andal-Benar-Jujur-Aman-Terperaya-Bertanggungjawab-Pembangun-Pengembang
3. PANGGILAN: Responsif-Ekspresif-Unik-Khas-Berintegritas-Tuntas
4. AKTUALISASI: Proaktif-Bersemangat-Antusias-Giat-Bergairah-Tumbuh-Bigger-Higher-Better
5. IBADAH: Penuhcinta-Sayang-Setia-Berkomitmen-Berbakti-Mengabdi-Berserah
6. SENI: Indah-Cantik-Keren-Estetik-Artistik-Imajinatif-Kreatif-Inovatif
7. KEHORMATAN: Harkat-Martabat-Mulia-Hebat-Berkualitas-Unggul-Excellence
8. PELAYANAN: Fokuspelanggan-Sempurna-Paripurna-Ramah-Simpatik-Memuaskan


PROBLEM SDM DI INDONESIA

Konon bangsa Indonesia adalah bangsa kuli dan kuli di atara bangsa-bangsa. Benarkah ini?
Sepuluh Ciri Pekerja Bermental Kuli:
1. Memandang kerja sebagai beban, sebuah keterpaksaan
2. Malas, ogah-ogahan, cari 10001 alasan untuk mangkir
3. Saat bekerja harus diawasi dan dimandori
4. Hanya bisa produktif kalau dipaksa
5. Minatnya hanya pada upah dan libur saja
6. Hubungan pekerja dengan majikan bersifat antagonis
7. Banyak tuntutan
8. Disiplin kerja rendah
9. Produktivitas rendah
10. Kualitas kerja rendah

PENGERTIAN HABITUS
1. Pierre Bourdieu: Habitus can be defined as a system of durable and transposable disposition (lasting, acquired schemes of perception, thought, and action). The individual agent develops these disposition in response to the determining structure (such as class, family, and education) and external condition (field) they encounter.

2. Habitus refers to those aspects of culture that are anchored in the body; or, daily practices of individuals, groups, societies and nations. It includes the totality of learned habits, bodily skills, styles, tastes, and other non-discursive knowledges that might be said to "go without saying" for a specific group.

3. The habitus provides the practical skills and dispositions necessary to navigate within different fields (such as sport, professional life, art) and guides the choices of the individual without ever being strictly reducible to prescribed, formal rules. At the same time, the habitus is constantly remade by these navigations and choices (including the success or failure of previous actions).

8 HABITUS UTAMA
1. Habitus Sehat/Segar/Bugar/Tegar
3. Habitus Investasi/Makmur/Kaya
4. Habitus Cerdas/Kreatif/Inovatif/Bijak
5. Habitus Tim/Kerjasama/Silaturahmi
6. Habitus Sosial/Pluralitas/Harmoni
7. Habitus Spiritual/Agama/Batin
8. Habitus Sukacita/Bahagia/Sentosa

ETOS DAN HABITUS
1. Etos adalah kebiasaan, berbasis pada state of mind, yang berhubungan dengan kegiatan produktif [etos belajar, etos kerja, etos menabung, dsb].

2. Etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja, yang berakar pada kesadaran yang kuat, keyakinan yang jelas dan mantap, serta komitmen yang teguh pada prinsip, paradigma, dan wawasan kerja yang khas dan spesifik.

3. Habitus adalah kebiasaan, berbasis pada state of body, yang berhubungan dengan kegiatan kualitatif [habitus aristokrat, habitus bangsawan, habitus wong cilik, habitus profesional, habitus sehat, dsb].

4. Habitus refers to the cultural capital an individual possesses as a result of his or her class position. Habitus is embodied; that is, it works through the body at a non-conscious level.

5. Habitus refers to those aspects of culture that are anchored in the body; or, daily practices of individuals, groups, societies and nations. It includes the totality of learned habits, bodily skills, styles, tastes, and other non-discursive knowledges that might be said to "go without saying" for a specific group.

8 ETOS KERJA SEBAGAI MENTAL (ROHANI)
1. Kerja adalah RAHMAT
2. Kerja adalah AMANAH
3. Kerja adalah PANGGILAN
4. Kerja adalah AKTUALISASI
5. Kerja adalah IBADAH
6. Kerja adalah SENI
7. Kerja adalah KEHORMATAN
8. erja adalah PELAYANAN


8 HABITUS KERJA SEBAGAI TUBUH (JASMANI)
1. Bekerja ikhlas penuh kebersyukuran
2. Bekerja benar penuh tanggungjawab
3. Bekerja tuntas penuh integritas
4. Bekerja keras penuh semangat
5. Bekerja serius penuh kecintaan
6. Bekerja cerdas penuh kreativitas
7. Bekerja tekun penuh keunggulan
8. Bekerja paripurna penuh kesabaran


SUMBER : JANSEN H SINAMO